Judul : The Holy Woman
Penulis : Qaisra Shahraz
Penerbit : Qanita
Bahasa : Indonesia
Halaman : 712 halaman
Sinopsis
Zarri Bano, muslimah jelita, berkali-kali menolak lamaran laki-laki sampai akhirnya dia bertemu Sikander, yang memikat hatinya pada pandangan pertama. Namun, ketika Ja’far, adik lelaki Zarri Bano, penerus martabat ayah mereka satu-satunya, tewas dalam kecelakaan, sang Ayah memaksa Zarri Bano menjadi Perempuan Suci. Ini berarti dia tidak boleh menikah, karena satu-satunya yang boleh dia nikahi adalah al-Qur’an.
Api asmaranya bersama Sikander pun dipaksa padam. Yang lebih menyakitkan, dalam puncak kekecewaannya, Sikander malah menikahi Ruby, adik Zarri Bano. Demikianlah, selama bertahun-tahun, kesedihan, amarah, dan perang batin Zarri Bano tersembunyi rapi di balik burqa hitam yang membungkus tubuhnya, dan membatasinya dengan dunia luar.
Terjadi di negeri Pakistan yang eksotis, novel yang banyak mendapat pujian ini memaparkan secara melodramatis peliknya realitas perempuan yang hidup di tengah kungkungan tradisi yang dibangun oleh laki-laki.
Mon maap, ini adalah review yang merepet ngomel~
Sejujurnya nih ya, baca novel ini berasa kayak nonton sinetron India 🤣. Meski demikian, teteup aja bikin saya bergumam cie cie dan setelah menyelesaikan buku ini, saya jadi merindukan Zarri Bano dan Sikander. Padahal pas baca buku ini bikin saya rasanya pingin teriak di telinga semua karakter dalam novel ini 🤣.
Namun ada satu hal yang mengganggu saya dari novel ini yaitu pada bagian kata pengantar si penulis. Dalam kata pengantar, si penulis mengatakan bahwa, “Mengenalkan para pembaca non-muslim pada dunia lain, membawa mereka dalam perjalanan ke empat negara muslim, mengenalkan mereka pada budaya muslim”. Setelah membaca novel ini, saya pingin tanya deh ke penulisnya, budaya mana yang dimaksud? Budaya feodalisme di Pakistan? Budaya tentang menjadi shahzadi ibadat atau Perempuan Suci?
Sepanjang membaca novel ini, pikiran saya rasanya kayak lagi perang. Ribuuuutt banget. Rasanya ada banyak kritik yang ingin saya layangkan ke penulis. Karena saya merasa alur cerita novelnya seperti mengaburkan niatnya menulis novel ini. Selain itu juga ada yang misleading dalam mengenalkan Islam melalui novel ini.
Melalui novel ini, si penulis ingin memberikan gambaran kehidupan patriarki yang terjadi di Pakistan. Akan tetapi setelah membaca novel ini, saya tidak hanya mendapati kesewenang-wenangan lelaki atas perempuan. Namun juga adanya kesewenang-wenang perempuan terhadap perempuan lainnya bahkan terhadap anak laki-lakinya.
Sebagai contoh adalah Sikander. Seperti yang disampaikan pada sinopsis bahwa pada awalnya Sikander ingin menikahi Zarri Bano. Akan tetapi pada akhirnya nggak jadi karena Zarri Bano harus menjadi Perempuan Suci atau shahzadi ibadat. Lalu Sikander menikahi Ruby yang merupakan adik dari Zarri Bano, itupun terpaksa. Siapa yang memaksa? Oke, ini spoiler banget, dia dipaksa oleh ibunya sendiri. Ibunya tuh maksaaaa banget sampai akhirnya anaknya menyerah. Kalau kayak gini kan kasihan anaknya ya. Sikander maupun Ruby jadi serba salah, tapi akhirnya ya nikah juga. Meski pernikahan mereka baik-baik aja, tapi tetap hati mereka kayak penuh peperangan. Ruby merasa ga enak sama kakaknya karena nikah sama lelaki yang harusnya sama dia. Sikander juga merasa bersalah sama istrinya karena masih sayang sama Zarri Bano. Hayo lho?! ðŸ¤
Ya Allah, baru juga mulai. Udah ngegas aja nih saya 🤣. Nggak apa-apa deh yaa. Yuk, kita skuuuyy~
Terus ya, ada juga momen dimana women support women tidak berlaku di Pakistan. Sebagai contoh adalah Chaudarani Kaniz yang disepelekan oleh tamu perempuan pada saat hari pernikahannya. Masalahnya karena suami Bu Kaniz sebenarnya nggak pingin nikah sama dia, tapi maunya sama yang lain. Pokoknya si tamu itu nyinyir banget yang bikin Kaniz dendam kesumat sampe ke ubun-ubun terhadap perempuan yang sebenarnya ditaksir suaminya. Kemudian karena dia disepelekan itu bikin Kaniz jadi perempuan yang nyebelin, semena-mena, angkuh dan sok kuasa. Bahkan dia sok kuasa terhadap anak laki-laki tunggalnya. Akibatnya anak laki-lakinya tidak bisa menikah dengan perempuan yang didamba selama bertahun-tahun.
Pokoknya tuh ya novel ini isinya tawur, saling menyalahkan dan playing victim banget dah 😂. Ya Allah, gregetan hamba sepanjang baca novel ini.
Setelah saya menyelesaikan novel ini, saya merasa bahwa terminologi patriarki hanya sekedar newspeak aja gitu. Karena pada kenyataannya kita tidak hanya berhadapan dengan masalah kesewenang-wenangan lelaki atas perempuan. Tapi perempuan juga ada yang sewenang-wenang terhadap lelaki bahkan terhadap sesama perempuannya. Sehingga permasalahan paling mendasar adalah perkara ego dan nafsu yang tidak tunduk kepada Tuhan sih. Karena kebanyakan manusia justru menyembah ego dan nafsunya sendiri yang membuatnya merasa perlu menguasai orang lain.
Sebenarnya saya berharap lebih gitu pada penulis. Kenapa sih dia nggak menggali lebih dalam tentang Islam bahwa pada dasarnya dalam Islam tidak ada yang namanya shahzadi ibadat. Bahwa budaya semacam itu hanya buatan manusia, bukan perintah dari Allah. Itupun tidak berlaku universal, hanya pada negara tertentu seperti Pakistan. Ya masak sih ada manusia menikahi Al-Qur’an yang notabene adalah kitab suci. Kan lutchu yaaa. Mana adaaaaa perintah kayak gitu.
Udah gitu menjadi shahzadi ibadat juga nggak nyambung sama penyebabnya, yaitu karena dia jadi pewaris atas semua tanah yang dimiliki oleh ayahnya. Sehingga dia nggak boleh menikah dan cukup hanya beribadah saja dan menjadi ulama. Lha terus hubungannya jadi pewaris kekayaan ayahnya apaan? 😂😂😂. Udah gitu Zarri Bano menyerah gitu aja pula untuk menjadi shahzadi ibadat. Kok ya dia nggak menjadikan kesempatan itu untuk mendalami Islam dan mencari tau apakah tradisi itu ada dalam Islam atau nggak. Lalu pengetahuannya itu dijadikan bekal untuk memberikan kesadaran pada keluarga dan masyarakat setempat bahwa sistem waris nggak kayak gitu. Walau memang momen menjadi shahzadi ibadat jadi titik balik yang bikin dia lebih rajin ibadah. Positifnya disitu sih. Karena ceritanya, sebelum jadi shahzadi ibadat, dia jarang solat dan nggak menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya 😂.
Walau memang pada akhirnya bapaknya Zarri Bano dan kakeknya, yang jadi biang kerok masalah, akhirnya sadar juga kalau mereka salah. Akan tetapi, menurut saya, perlu juga diberikan pesan dalam novel tersebut bahwa tidak ada dalil yang membenarkan tradisi tersebut. Apalagi novel ini ditujukan oleh penulis kepada pembaca non-muslim. Dengan begitu para pembaca itu jadi tau bahwa Islam nggak semengerikan itu kok. Hmm~
Selain itu penilaian terhadap penggunaan burqa juga terlalu berlebihan sih. Nggak masalah kok jika tidak setuju terhadap penggunaan burqa, tapi nggak perlu menggunakan terminologi yang berlebihan. Biar orang yang baca nggak julid terhadap pengguna burqa ataupun cadar di dunia nyata 😂. Atau mungkin saya yang terlalu berlebihan dalam menanggapi isi novel ya? 🤣🤣🤣. Tapi bagaimanapun, bagi saya sebuah karya tulis itu kan wadah untuk menyampaikan sesuatu atau mungkin kebenaran. Maka ada baiknya jika pada sisi tertentu lebih di detailkan agar mispersepsi yang selama ini terjadi dikalangan masyarakat luas tentang Islam, bisa tampak lebih jelas. Selain itu juga agar islamophobia yang selama ini merebak bisa lebih berkurang karena adanya edukasi, salah satunya melalui karya tulis.
Namun ada satu hal yang harus saya apresiasi dari novel ini adalah hasil terjemahannya 🤣. Penerjemah Qanita dapat menerjemahkan novel ini dengan baik. Sehingga saya sebagai pembaca bisa tetap nyaman membaca novel ini hingga tuntas. Apalagi tebalnya 700an halaman 😂. Tapi per bab nya pendek-pendek kok. Sehingga kalau mau selesai dalam 1 bulan, bisa dibaca 2 bab per hari. Hihi
Selain itu saya juga masih tetap bisa menikmati alur cerita novel. Walau pada akhirnya ada banyak hal yang menimbulkan ganjalan di hati dan pikiran 😂. Terus ada juga timeline yang membingungkan. Berasa kayak ada yang lompat aja gitu setting waktunya 🤣. Tapi untungnya nggak seberapa mengganggu 😂.
Overall, novel ini lumayanlah ya buat ngisi waktu dan menambah pengetahuan tentang masyarakat pedesaan di Pakistan. Walau nggak tau juga apakah tradisinya masih berlaku atau sudah ditiadakan 😂.
Post a Comment
Post a Comment