Tanpa terasa tahun telah berganti, dari 2024 ke 2025. Banyak hal yang sudah dilalui sepanjang 2024. Akan tetapi tantangannya tetap sama yaitu soal emosi. Rasa-rasanya sepanjang 2024 kemarin saya masih bergelut dengan emosi saya yang seringkali membuat saya merasa tidak berdaya. Masih sering insecure, overthinking, terus juga masih gampang baper, marah dan ngomel-ngomel. Alhasil bikin saya jadi mudah merasa bersalah banget. Tapi intensitas ledakannya tidak separah tahun sebelumnya. Saya rasa itu sih pencapaian 2024 saya, sedikit lebih tenang dibanding 2023 yang sangat huru-hara dan penuh ketantruman. Yang tantrum saya ya, bukan Hening 🤣.
Awal tahun 2025 ini tantangannya masih tetap sama. Entah kenapa awal tahun ini jadi gampang baper. Harusnya saya jadi lebih baik gitu ya, kan udah latihan sepanjang 2024. Masak tantrum bae 😩. Tapi saya berusaha ngingetin diri saya bahwa ini adalah momen bertumbuh. Meski rasanya kok belum ada peningkatan lagi soal emosi, jangan putus asa untuk terus berupaya menjadi lebih baik.
Lalu saya mencoba untuk menganalisis kenapa ya saya masih sulit untuk keluar dari perasaan negatif ini? Setelah saya telusuri, ada kemungkinan karena saya masih stuck dengan luka batin saya.
Saya hidup saat ini, tapi saya stuck pada masa lalu yang kemudian bikin saya takut dengan masa depan. Saya masih sibuk berkutat pada luka saya sendiri. Pantas saja rasanya sulit sembuh, karena saya sendiri yang kurang berupaya untuk sembuh. Alhasil mode hidup kayak gini bikin saya jadi kurang bersyukur dan kurang merasakan bahagia. Pada akhirnya saya sendiri yang menjebloskan diri saya ke dalam neraka pikiran dan perasaan saya sendiri. Saya sibuk dengan perasaan negatif saya, sampai-sampai saya nggak tau gimana caranya keluar.
Memang betul saya sudah melakukan self-care, namun ada yang luput dari self-care saya yaitu ikhlas terhadap luka itu. Apalagi kadang ada momen dimana si penyebab luka tersebut meneteskan perasan jeruk nipis di atas luka, yang akhirnya bikin lukanya tidak segera sembuh. Akan tetapi ternyata, ketika saya merasa demikian, sama aja dengan bermental korban. Harusnya kalau saya bisa ikhlas, apapun atau bagaimanapun sikap atau ucapan si penggores luka bisa saya terima dengan lapang dada. Bukannya malah dipikir terus sampe jadi overthinking. Huhu
Terus-terusan berkutat dengan perasaan ternyata amat sangat melelahkan. Akhirnya hal ini justru bikin saya jadi kepayahan. Rasa-rasanya saya jadi banyak menghabiskan waktu untuk berkutat dengan perasaan negatif saya. Maka yang harus bisa saya lakukan adalah menyibukkan pikiran saya agar tidak terbelenggu dan terpedaya oleh perasaan negatif saya. Saya harus berusaha untuk bisa switch agar tidak terus-menerus melukai diri saya sendiri.
Lalu apa yang akan saya lakukan agar bisa menyibukkan pikiran saya?
Tahun ini saya membuat beberapa target yang semoga saja bisa saya realisasikan. Seperti misalnya jadi lebih rajin dan rutin olahraga. Karena saya perlu menenangkan amygdala saya agar nggak berontak terus melalui bergerak yang teratur. Selain itu juga biar badan saya nggak gampang pegel.
Terus juga harapannya bisa lebih rajin menulis dan mengunggahnya di blog. Karena dengan menulis terjadi proses berpikir. Apalagi untuk tulisan yang butuh referensi memaksa saya harus membaca dan berpikir. Dengan begitu harapannya pikiran saya bisa disibukkan dengan hal yang lebih produktif.
Lalu saya juga berharap bisa menyelesaikan minimal 1 buku tiap bulan. Membaca buku juga bagian dari proses berpikir. Kadang ketika membaca buku kan bikin muncul ide atau bahkan adu argumentasi dalam pikiran saya sendiri. Mungkin dengan cara ini saya bisa lebih mudah switch perasaan negatif saya.
Saya bukan bermaksud mengabaikan perasaan negatif saya lho ya. Saya tau memang perasaan itu harus diterima, apapun itu. Akan tetapi masalahnya ketika saya stuck pada perasaan negatif tersebut, bikin saya merasa terganggu. Maka saya harus bisa mengatasinya dengan menyibukkan diri saya pada kegiatan yang melalui proses berpikir. Ya seperti menulis dan membaca.
Tentu ada ikhtiar ruhani juga yang saya lakukan. Tapi karena ini sifatnya private bagi saya, sehingga nggak perlu saya ceritakan banyak-banyak. Namun yang pasti ikhtiar ruhani ini juga saya usahakan untuk meningkat agar bisa mencapai ketenangan. Dan juga sebagai upaya tazkiyatun nafs. Karena bagaimanapun usaha pulih mental itu nggak bisa hanya dengan ikhtiar jasmani, tapi juga harus ikhtiar ruhani juga agar seimbang.
Ketenangan menjadi goal bagi hidup saya. Karena sebanyak apapun uang ataupun harta, tapi jika hati dan pikiran nggak tenang ya buat apa. Ketenangan nggak bisa dibeli dengan uang. Tanpa uang juga ketenangan bisa diraih. Terdengar naif, tapi memang begitu adanya. Karena yang saya harapkan adalah ketenangan sejati, bukan ketenangan palsu.
Dengan waktu yang terus bergerak, saya tidak ingin terus-terusan menyia-nyiakan waktu dengan terkungkung dalam emosi negatif. Apalagi Allah telah bersumpah demi masa atau demi waktu. Saking pentingnya waktu itu sendiri agar dimanfaatkan untuk kegiatan yang bernilai ibadah.
Bismillah, semoga Allah ridhoi setiap langkah untuk tenang dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Post a Comment
Post a Comment