Tags

1% Ikhtiar, 99% Kasih SayangNya

 

Ceritanya kemarin saya lagi tadabbur ayat ke dua dari surah al Fatihah. Pas lagi merenungi nih ceritanya, tetiba terlintas di pikiran saya bahwa pada dasarnya di kehidupan ini ikhtiar kita itu cuma 1% doang. Sekeras apapun kita berikhtiar, entah untuk mendapat sesuatu, mencapai sesuatu ataupun untuk menghadapi ujian hidup, ikhtiar kita itu cuma 1% aja. Sedangkan 99% nya dapat terwujud berkat ridho dan kasih sayang Allah. 


Bagaimana kita bisa mengklaim bahwa kita bisa mencapai sesuatu karena murni usaha kita sendiri? Nonsense sih! Coba deh kita pikir-pikir. Kita ini bernapas, bisa melihat, bisa mendengar, bisa berpikir, bisa bergerak, seluruh organ tubuh kita berfungsi dengan baik. Semua itu kan terjadi berkat rahmat Allah. Kalau bukan berkat rahmat Allah, emang bisa? Seilmiah apapun alasan untuk menjelaskan semua itu, tetap saja, kalau tanpa rahmat Allah nggak akan bisa terjadi. 


Dengan kondisi tubuh kita yang baik, pikiran kita juga baik, maka kita mampu bergerak untuk bisa melakukan banyak hal. Agar bisa mencapai apa yang kita harapkan. Harapan dapat tercapai dan terwujud, apakah mungkin terjadi kalau bukan karena Allah ridho dan Allah sayang sama kita? Bahkan kadang harapan nggak terwujud juga meski usaha udah keras banget. Ya, itu juga bentuk sayangnya Allah ke kita.


Lalu disaat kita sedang mengalami ujian dan akhirnya bisa keluar dari ujian tersebut dengan segala macam ikhtiar yang kita lakukan. Apakah hal itu bisa terwujud hanya karena murni usaha kita? Nggak, ah! Semua itu bisa terjadi berkat ridho dan kasih sayang Allah. Meskipun kita jarang nyambangin Allah. Jarang banget nginget-nginget Allah. Tapi Allah tuh saking besar, luas dan dalam kasih sayangNya ke manusia, Allah tetep bantuin kita. Allah nggak pernah ngelupain kita.


Mengingat ayat pertama dari surah al Fatihah yang mana beberapa ulama menafsirkan bahwa kasih sayang Allah disebutkan dua kali (rahman dan rahim) sedangkan KeperkasaanNya hanya disebutkan satu kali saja. Hal ini menunjukkan bahwa kasih sayangNya kepada seluruh ciptaanNya begitu luas, besar dan dalam daripada murkaNya.


Kemudian di ayat kedua mengatakan bahwa Segala puji bagi Allah, yang berarti segala bentuk pujian hanya untuk Allah. Dari sini saya merasa aneh ketika ada orang yang berterima kasih kepada dirinya sendiri karena merasa udah kuat berikhtiar. Lha kekuatan itu bisa ada karena siapa coba, kalau bukan karena Allah? Apa kita pantas untuk berterima kasih kepada diri kita sendiri? 


Dari dua ayat tersebut rasanya sudah jelas bahwa sekeras apapun ikhtiar kita, semua itu bisa terwujud berkat ridho dan kasih sayang Allah. 


Pernyataan 1% ikhtiar, 99% karena kasih sayangNya bukan bentuk mengkerdilkan diri ataupun meremehkan usaha setiap orang. Hanya saja kita perlu punya kesadaran bahwa sebesar apapun usaha kita, setinggi apapun pencapaian kita, semua itu dapat terwujud berkat ridho dan rahmat Allah. Sehingga sudah sepantasnya jika kita berterima kasih cukup sama Allah saja. Bukan ke diri kita sendiri. 


Saya jadi teringat kisah tentang al Hallaj yang diajakin ngobrol sama iblis sebelum al Hallaj di hukum mati. Si iblis bilang gini ke al Hallaj, “Hei, al Hallaj. Kamu itu lho padahal sering bilang ana al Haq, tapi kok Allah tetep saya ya sama kamu. Lha kalo aku yang bilang gitu, kok Allah murka sama aku?”


Lalu al Hallaj membalas, “Lho, kalo saya bilang ana al Haq. Ana (aku) nya hilang. Lha kalo kamu ngomong gitu, malah rasa ke aku anmu yang membesar. Jelas aja Allah murka.”


Dari percakapan itu al Hallaj mengingatkan bahwa kita ini hanya makhluk yang diadakan oleh Allah. Karena aslinya kita ini kan tidak ada. Kita ada berkat rahmat Allah. Kalau bukan atas seizin Allah, emang kita bisa ujug-ujug hadir di dunia ini? Nggak mungkin! 😂 


Itulah kenapa usahakan untuk tidak berterima kasih kepada diri sendiri. Setiap kali harapan terwujud, cukup ucapkan Alhamdulillah bini'matihi tatimusholihat (Segala puji bagi Allah, dengan nikmatNya kebaikan menjadi sempurna). Jikalau pun mendapatkan ujian, ya tetap Alhamdulillah ala kulli hal (Segala puji bagi Allah dalam segala keadaan). 


Jika level spiritual kita masih jauuuhh dari al Hallaj, masih belum bisa meniadakan diri ketika bilang, “terima kasih diriku”, mending bilang alhamdulillah aja udah cukup. Nggak perlu ditambah embel-embel terima kasih diriku. Khawatirnya tanpa sadar kita jadi menuhankan diri kita sendiri. Seolah-olah kita lah yang paling berjasa atas apa yang kita capai. Jangan ya~


Masak ya, mintanya sama Allah. Pas udah terwujud, berterima kasihnya ke diri sendiri. Kan lucu. Jangan tetiba amnesia gitu dong ah 😌.


Allahu a’lam bishawab.


Semoga Allah selalu menjaga kita dari sikap menuhankan diri. Serta semoga Allah senantiasa memberkahi dan mengucuri kita dengan kasih sayangNya.

Emiria Letfiani
A Wife, A Mom, A Storyteller
Newest Older

Related Posts

Post a Comment